I. Teori psikologi menurut para ahli
1.
Aliran psikologi tingkah laku
A.
Teori
Pengaitan dari Edward L. Thorndike
Berdasarkan hasil percobaannnya di
Laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan, ia mengemukakan suatu teori
belajar yang dikenal dengan teori “pengaitan” (connectionism). Teori tersebut
menyatakan belajar pada hewan dan manusia pada dasrnya berlangsung menurut
prinsip yang sam taitu, belajar merupakan peristiwa terbentuknya ikatan
(asosiasi) antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon
(R) yang diberikan atas stimulus tersebut. (Orton, 1991:39;
Resnick dan Ford, 1981:13).
Selanjutnya Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40;
Resnick dan Ford, 1981:13; Hudojo, 1991:15-16) mengemukakan bahwa, terjadinya
asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hkum-hukum berikut. (1) Hukum
Kesiapan (law of readiness), (2) Hukum Latihan (law of exercise), (3) hukum
Akibat (law of effect).
B. Teori
Penguatan B.F. Skinner
Skinner mengembangkan tori belajarnya juga
dari hasil percobaan dengan menggunakan hewan. Dari percobaannya, Skinner
menyimpulkan bahwa kita dapat membentuk tingkah laku manusia melalui pengaturan
kondisi lingkungan (operant conditioning) dan penguatan.
Skinner membagi penguatan
ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan positif
sebagai stimulus, apabila penyajiannya mengiringi suatu tingkah laku siswa yang
cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu, dalam hal
ini berarti tingkah laku tersebut diperkuat. Sedangkan penguatan negatif
adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan Karena cenderung menguatkan tingkah
laku.
C. Teori
Hirarki Belajar dari Robert M. Gagne
Menurut Orton (1990:39),
Gagne merupakan tokoh Behaviorism gaya baru (modern neobehaviourist). Dalam
mengembangkan teorinya, Gagne memperhatikan objek-objek dalam mempelajari
matematika yang terdiri dari objek langsung dan tidak langsung. Objek langsung
adalah: fakta, keterampilan, konsep dan prinsip, sedangkan objek tak langsung
adalah: transfer belajar, kemampuan menyelidiki, kemampuan memecahkan masalah,
disiplin diri, dan bersikap positif terhadap matematika.
Gagne berpandangan bahwa belajar merupakan
perubahan tingkah laku yang kegiatan belajarnya mengikuti suatu hirarki
kemampuan yang dapat diobservasi dan diukur. Oleh karena itu teori belajar yang
dikemukakan oleh Gagne dikenal dengan “ teori hirarki belajar”
Gagne membagi belajar dalam delapan tipe
secara berurtan, yaitu: belajar sinyal (isyarat), stimulus-respon, rangkaian
gerak, rangkaian verbal, memperbedakan, pembentukan konsep, dan pemecahan
masalah.Gagne berpendapat bahwa proses belajar pada setiap tipe belajar
tersebut terjadi dalam empat tahap secara berurutan yaitu tahap: pemahaman,
penguasaan, ingatan, dan pengungkapan kembali.
Untuk menerapkan teori hirarki belajar Gagne
ini pada pembelajaran matematika perlu diterjemahkan secara operasional yaitu:
(1) untuk mengajarkan suatu topic matematika guru perlu: (a) memperhatikan
kemampuan prasyarat yang diperlukan untuk mempelajari topic tersebut, (b)
menyusun dan mendaftar langkah-langkah kegiatan belajar serta membedakan
karakteristik belajar yang tersusun secara hirarkis yang dapat didemonstrasikan
oleh peserta didik sehingga guru dapat mengamati dan mengukurnya. (2)
guru dapat memilih tipe belajar tertentu yang dianggap sesuai untuk belajar
topic matematika yang akan diajarkan.
Perkembangan kemampuan
belajar menurut Gagne (McNeil,1977)
- Multideskriminasi,
yaitu belajar membedakan stimuli yang mirip, misalnya huruf b dan d.
- Belajar
konsep, yaitu belajar membuat respon sederhana, seperti huruf hidup, hurup
mati, dsb.
3.
Belajar Prinsip, yaitu mempelajari
prinsip-prinsip atau aturan-aturan konsep.
2. Aliran psikologi kognitif
A. Teori
Perkembangan Intelektual Jean Piaget
Piaget adalah ahli
psikologi Swiss yang latar belakang pendidikan formalnya adalah falsafah dan
biologi. Piaget mengemukakan Teori Perkembangan Intelektual
(kognitif)
Menurut Piaget ada empat tingkat
perkembangan Intelektual. (Mulyani 1988, Nana Syaodih, 1988, dan Callahan,
1983):
1. Periode
Sensorimotor pada umur 0 – 2 tahun
2. Periode Praoperasional pada umur 2 – 7
tahun
3. Periode operasi konkret pada umur 7 –
11 tahun
4. Periode operasi formal pada umur 11 –
15 tahun
B. Teori
Belajar dari Jerome Bruner
Perkembangan mental anak menurut Bruner (Toeti
Soekamto, 1994) ada tiga tahap, yaitu:
1.Tahap Enaktif, anak melakukan
aktivitas-aktivitas dalam upaya memahami lingkungan
2. Tahap
Ikonik, anak memahami dunia melalui
gambaran-gambaran dan visualisasi verbal.
3.Tahap simbolik,anak telah
memilikigagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika.
Berdasarkan hasil observasi dan eksperimennya
mengenai kegiatan belajar-mengajar matematika Bruner merumuskan empat teori
umum tentang belajar matematika yaitu:
1. Teorema penyusunan (contruction theorem)
2. Teorema pelambangan (notation theorem)
3. Teorema pembedaan dan keaneka ragaman (
contrast and variation theorem)
4. Teorema pengaitan (connectivity
theorem)
Teori-teori Psikologi telah banyak membantu membentuk Landasan
Pendidikan didalamnya anak dapat belajar dengan efektif. Landasan psikologis sangat penting karena
manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, sehinggap membutuhkan teori yang
berbeda-beda untuk diaplikasikan dalam kasus-kasus pendidikan. Mengingat dekatnya hubungan teori-teori
tersebut dengan pendidikan, maka guru-guru modern patut mempelajarinya dan
mengaplikasikannya dalam kelas.
2.2
Pengertian landasan
psikologi pendidikan
Untuk
memahami karakteristik peserta didik dalam masa kanak-kanak, remaja, dewasa,
dan usia tua, psikologi pendidikan mengembangkan dan menerapkan teori-teori
pembangunan manusia. Sering
digambarkan sebagai tahap di mana orang lulus saat jatuh tempo, teori-teori
perkembangan menggambarkan perubahan kemampuan mental (kognisi), peran sosial,
penalaran moral, dan keyakinan tentang hakikat pengetahuan.
Menurut Pidarta (2007:194)
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa itu
sendiri adalah roh dalam keadaan mengendalikan jasmani, yang dapat dipengaruhi
olaeh alam sekitar. Jiwa manusia berkembang sejajar
dengan pertumbuhan jasmani. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan
manusia, sehingga landasan psikologis pendidikan merupakan suatu landasan dalam
proses pendidikan yang membahas berbagai informasi tentang kehidupan manusia pada
umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek pribadi manusia pada
setiap tahapan usia perkembangan tertentu untuk mengenali dan menyikapi manusia
sesuai dengan tahapan usia perkembangannya yang bertujuan untuk memudahkan
proses pendidikan.
2.3 Bentuk psikologis
pendidikan
A. Psikologis Perkembangan
Ada tiga teori
atau pendekatan tentang perkembangan. Pendekatan-pendekatan yang dimaksud
adalah (Nana Syaodih, 1989).
1.
Pendekatan pentahapan.
Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan tertentu. Pada setiap
tahap memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan ciri-ciri pada tahap-tahap
yang lain.
2.
Pendekatan diferensial.
Pendekatan ini dipandang individu-individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dan
perbedaan-perbedaan. Atas dasar ini lalu orang-orang membuat kelompok–kelompok.
Anak-anak yang memiliki kesamaan dijadikan satu kelompok. Maka terjadilah
kelompok berdasarkan jenis kelamin, kemampuan intelek, bakat, ras, status
sosial ekonomi, dan sebagainya.
3.
Pendekatan ipsatif.
Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu, dapat saja
disebut sebagai pendekatan individual. Melihat perkembangan seseorang secara
individual.
Dari ketiga
pendekatan ini, yang paling dilaksanakan adalah pendekatan pentahapan.
Pendekatan pentahapan ada 2 macam yaitu bersifat menyeluruh dan yang bersifat
khusus. Yang menyeluruh akan mencakup segala aspek perkembangan sebagai faktor
yang diperhitungkan dalam menyusun tahap-tahap perkembangan, sedangkan yang
bersifat khusus hanya mempertimbang faktor tertentu saja sebagai dasar menyusun
tahap-tahap perkembangan anak, misalnya pentahapan Piaget, Koglberg, dan
Erikson.
Psikologi
perkembangan menurut Rouseau membagi masa perkembangan anak atas empat tahap
yaitu :
1)Masa
bayi dari 0 – 2 tahun sebagian besar merupakan perkembangan fisik.
2)Masa
anak dari 2 – 12 tahun yang dinyatakan perkembangannya baru seperti hidup manusia primitif.
3)Masa
pubertas dari 12 – 15 tahun, ditandai dengan perkembangan pikiran dan kemauan
untuk berpetualang.
4)Masa
adolesen dari 15 – 25 tahun, pertumbuhan seksual menonjol, sosial, kata hati,
dan moral. Remaja ini sudah mulai belajar berbudaya.
B. Psikologi Belajar
Menurut
Pidarta (2007:206) belajar adalah perubahan perilaku yang relatif permanen
sebagai hasil pengalaman (bukan hasil perkembangan, pengaruh obat atau
kecelakaan) dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu
mengomunikasikannya kepada orang lain.
Secara
psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu usaha yang
dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara
sadar dari hasil interaksinya dengan lingkungan” (Slameto, 1991:2). Definisi
ini menyiratkan dua makna. Pertama, bahwa belajar merupakan suatu usaha untuk
mencapai tujuan tertentu yaitu untuk mendapatkan perubahan tingkah laku Kedua,
perubahan tingkah laku yang terjadi harus secara sadar.
Dari
pengertian belajar di atas, maka kegiatan dan usaha untuk mencapai
perubahan tingkah laku itu dipandang sebagai Proses belajar, sedangkan perubahan
tingkah laku itu sendiri dipandang sebagai Hasil
belajar. Hal ini berarti, belajar pada hakikatnya menyangkut dua
hal yaitu proses belajar dan hasil belajar.
Para
ahli psikologi cenderung untuk menggunakan pola-pola tingkah laku manusia
sebagai suatu model yang menjadi prinsip-prinsip belajar. Prinsip-prinsip
belajar ini selanjutnya lazim disebut dengan Teori Belajar.
1.
Teori belajar klasik masih
tetap dapat dimanfaatkan, antara lain untuk menghapal perkalian dan melatih
soal-soal (Disiplin Mental). Teori Naturalis bisa dipakai dalam pendidikan luar
sekolah terutama pendidikan seumur hidup.
2.
Teori belajar behaviorisme
bermanfaat dalam mengembangkan perilaku-perilaku nyata, seperti rajin, mendapat
skor tinggi, tidak berkelahi dan sebagainya.
3.
Teori-teori belajar
kognisi berguna dalam mempelajari materi-materi yang rumit yang membutuhkan
pemahaman, untuk memecahkan masalah dan untuk mengembangkan ide (Pidarta,
2007:218).
C. Psikologi Sosial
Menurut
Hollander (1981) psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi
seseorang di masyarakat, yang mengkombinasikan ciri-ciri psikologi dengan
ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh masyarakat terhadap individu dan antar
individu (dikutip Pidarta, 2007:219).
Pembentukan
kesan pertama terhadap orang lain memilki tiga kunci utama yaitu.
1.
Kepribadian orang itu.
Mungkin kita pernah mendengar tentang orang itu sebelumnya atau cerita-cerita
yang mirip dengan orang itu, terutama tentang kepribadiannya.
2.
Perilaku orang itu. Ketika
melihat perilaku orang itu setelah berhadapan, maka hubungkan dengan
cerita-cerita yang pernah didengar.
3.
Latar belakang situasi.
Kedua data di atas kemudian dikaitkan dengan situasi pada waktu itu, maka
dari kombinasi ketiga data itu akan keluarlah kesan pertama tentang orang itu.
Dalam dunia
pendidikan, kesan pertama yang positif yang dibangkitkan pendidik akan
memberikan kemauan dan semangat belajar anak-anak. Motivasi juga merupakan
aspek psikologis sosial, sebab tanpa motivasi tertentu seseorang sulit untuk
bersosialisasi dalam masyarakat. Sehubungan dengan itu, pendidik punya
kewajiban untuk menggali motivasi anak-anak agar muncul, sehingga mereka dengan
senang hati belajar di sekolah.
Menurut
Klinger (dikutip Pidarta, 2007:222) faktor-faktor yang menentukan motivasi
belajar adalah.
1.
Minat dan kebutuhan
individu.
2.
Persepsi kesulitan akan
tugas-tugas.
3.
Harapan sukses.
2.4 Kontribusi psikologi pendidikan dalam proses
belajar
1.
Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Pengembangan Kurikulum.
Kajian
psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan
terutama berkenaan dengan pemahaman aspek-aspek perilaku dalam konteks belajar
mengajar. Terlepas dari berbagai aliran psikologi yang mewarnai pendidikan,
pada intinya kajian psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana in
put, proses dan out pendidikan dapat berjalan dengan tidak mengabaikan aspek
perilaku dan kepribadian peserta didik.
Secara psikologis, manusia merupakan
individu yang unik. Dengan demikian, kajian psikologis dalam pengembangan
kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu,
baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi,
perasaaan serta karakterisktik-karakteristikindividulainnya.
Kurikulum pendidikan
seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu untuk dapat
berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya, baik dalam hal subject matter
maupun metodepenyampaiannya.
Secara khusus,
dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini, kurikulum yang dikembangkan
saat ini adalah kurikulum berbasis kompetensi, yang pada intinya menekankan
pada upaya pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang
direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan
bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi
kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar
untuk melakukan sesuatu.
Dengan
demikian dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, kajian psikologis
terutama berkenaan dengan aspek-aspek: (1) kemampuan siswa melakukan sesuatu
dalam berbagai konteks; (2) pengalaman belajar siswa; (3) hasil belajar
(learning outcomes), dan (4) standarisasi kemampuan siswa
2.
Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Pembelajaran
Kajian psikologi pendidikan
telah melahirkan berbagai teori yang mendasari sistem pembelajaran. Kita
mengenal adanya sejumlah teori dalam pembelajaran, seperti : teori classical
conditioning, connectionism, operant conditioning, gestalt, teori daya, teori
kognitif dan teori-teori pembelajaran lainnya. Terlepas dari kontroversi yang
menyertai kelemahan dari masing masing teori tersebut, pada kenyataannya
teori-teori tersebut telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam proses
pembelajaran.
Di samping itu, kajian psikologi
pendidikan telah melahirkan pula sejumlah prinsip-prinsip yang melandasi
kegiatan pembelajaran Nasution (Daeng Sudirwo,2002) mengetengahkan tiga belas
prinsip dalam belajar, yakni :
1) Agar seorang benar-benar
belajar, ia harus mempunyai suatu tujuan
2) Tujuan itu harus timbul
dari atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan karena dipaksakan
oleh orang lain.
3) Orang itu harus bersedia
mengalami bermacam-macam kesulitan dan berusaha dengan tekun untuk mencapai
tujuan yang berharga baginya.
4) Belajar itu harus
terbukti dari perubahan kelakuannya.
5) Selain tujuan pokok yang
hendak dicapai, diperolehnya pula hasil sambilan.
6) Belajar lebih berhasil
dengan jalan berbuat atau melakukan.
7) Seseorang belajar sebagai
keseluruhan, tidak hanya aspek intelektual namun termasuk pula aspek emosional,
sosial, etis dan sebagainya.
8) Seseorang memerlukan
bantuan dan bimbingan dari orang lain.
9) Untuk belajar diperlukan
insight. Apa yang dipelajari harus benar-benar dipahami. Belajar bukan sekedar
menghafal fakta lepas secara verbalistis.
10) Disamping mengejar tujuan
belajar yang sebenarnya, seseorang sering mengejar tujuan-tujuan lain.
11) Belajar lebih berhasil,
apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.
12) Ulangan dan latihan perlu
akan tetapi harus didahului oleh pemahaman.
13) Belajar hanya mungkin
kalau ada kemauan dan hasrat untuk belajar.
3.
Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Penilaian
Penilaiain pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan
guna memahami seberapa jauh tingkat keberhasilan pendidikan. Melaui kajian
psikologis kita dapat memahami perkembangan perilaku apa saja yang diperoleh
peserta didik setelah mengikuti kegiatan pendidikan atau pembelajaran tertentu.
Di samping itu, kajian psikologis telah
memberikan sumbangan nyata dalam pengukuran potensi-potensi yang dimiliki oleh
setiap peserta didik, terutama setelah dikembangkannya berbagai tes psikologis,
baik untuk mengukur tingkat kecerdasan, bakat maupun kepribadian individu
lainnya.Kita mengenal sejumlah tes psikologis yang saat ini masih banyak
digunakan untuk mengukur potensi seorang individu, seperti Multiple Aptitude
Test (MAT), Differensial Aptitude Tes (DAT), EPPS dan alat ukur lainnya.
Pemahaman kecerdasan,
bakat, minat dan aspek kepribadian lainnya melalui pengukuran psikologis,
memiliki arti penting bagi upaya pengembangan proses pendidikan individu yang
bersangkutan sehingga pada gilirannya dapat dicapai perkembangan individu yang
optimal.
Oleh karena itu, betapa
pentingnya penguasaan psikologi pendidikan bagi kalangan guru dalam
melaksanakan tugas profesionalnya.
Keadaan
anak yang tadinya belum dewasa hingga menjadi dewasa berarti mengalami
perubahan,karena dibimbing, dan kegiatan bimbingan merupakan usaha atau
kegiatan berinteraksi antara pendidik,anak didik dan lingkungan.
Perubahan tersebut adalah merupakan gejala yang timbul secara psikologis. Di
dalam hubungan inilah kiranya pendidik harus mampu memahami perubahan yang
terjadi pada diri individu, baik perkembangan maupun pertumbuhannya. Atas dasar
itu pula pendidik perlu memahami landasan pendidikan dari sudut psikologis.
Dengan demikian,
psikologi adalah salah satu landasan pokok dari pendidikan. Antara psikologi
dengan pendidikan merupakan satu kesatuan yang sangat sulit dipisahkan. Subyek
dan obyek pendidikan adalah manusia, sedangkan psikologi menelaah gejala-gejala
psikologis dari manusia. Dengan demikian keduanya menjadi satu kesatuan yang
tidak terpisahkan.