This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.

Kamis, 20 Oktober 2022

BUKU KERJA GURU 1, 2, 3 DAN 4

Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran seorang guru membutuhkan Buku Kerja Guru sebagai panduan pelaksanaan tugas mengajar/mendidik. Buku kerja tersebut menjadi perangkat administrasi wajib berisi instrumen yang disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku.

Hingga saat ini, sekolah/madrasah di Indonesia masih menerapkan Kurikulum 2013 edisi revisi. Edisi revisi tersebut dilaksanakan dengan dasar hukum Permendikbud No 20-24 th. 2016.

Dasar hukum tersebut mengatur tentang:

  • Standar Kompetensi Lulusan (No. 20)
  • Standar Isi untuk Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (No. 21)
  • Standar Proses pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah (No. 22)
  • Standar Penilaian Hasil Belajar (No. 23)
  • Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar untuk Pendidikan SMP (no. 24)

Adanya revisi terbaru ini, para guru harus menyesuaikan dalam pembuatan/penyusunan Buku Kerja Guru. Format, komponen dan sistematika tiap-tiap instrumen pada buku kerja tersebut mengalami sejumlah perubahan.

Instrumen yang mengalami perubahan yang sangat signifikan adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau RPP, Standar Kompetensi Lulusan atau SKL dan Silabus Pembelajaran.

Tugas administrasi guru bukanlah hal yang mudah, guru harus bisa membagi waktu dengan baik untuk bisa melaksanakan tugas utamanya dalam mendidik dan membimbing anak serta memenuhi tugas administrasi. Bahkan tak sedikit waktu mereka habis terbuang untuk memikirkan tugas administrasi.

Melihat hal ini, menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim pun berupaya untuk bisa memangkas beban administrasi guru supaya kegiatan belajar mengajar lebih optimal, di mana guru bisa mengalokasikan waktunya untuk menyiapkan materi pembelajaran yang beragam dan inovatif. Karena tentu sangat memberatkan jika guru harus tetap berinovasi sementara mereka dituntut untuk menyelesaikan pekerjaan administrasi yang cukup menguras tenaga dan pikiran.

Misalnya pada tugas administrasi dalam membuat model maupun kerangka belajar yang sesuai kurikulum setelah merampungkan kelengkapan administrasi berkaitan tunjangan profesi. 2 tugas tersebut dirasa cukup besar dan dapat menguras tenaga dan pikiran. Apalagi bagian merancang model maupun kerangka belajar, di mana guru harus cermat dan sesuai dengan tujuan kurikulum agar siswa bisa mencapai kegiatan pembelajaran dan tidak kerepotan ketika ujian nasional.

Lalu ketika ada perubahan kurikulum guru juga harus beradaptasi dan sedikit terbebani dengan perubahan tersebut, karena harus tetap memenuhi tugas administrasi sesuai kurikulum agar tunjangan profesi bisa dicairkan.

Lantas apa saja tugas administrasi guru lainnya yang harus dikerjakan?

Buku kerja adalah file yang berisi satu atau beberapa lembar kerja yang dapat membantu mengelola data. Anda dapat membuat buku kerja baru dari buku kerja kosong atau templat.

Mengacu pada peraturan yang sudah ditetapkan, berikut ini adalah Buku Kerja Guru 1,2,3,4 Kurikulum 2013 termasuk instrumen-instrumen di dalamnya.

Buku Kerja Guru berisi seperangkat berkas yang disusun terkait tugasnya sebagai guru kelas atau guru bidang studi dalam implementasi Kurikulum 2013.

Istilah Buku Kerja Guru secara sederhana disebut juga perangkat administrasi pembelajaran. Buku Kerja Guru memuat instrumen pembelajaran yang disesuikan dengan kurikulum yang berlaku.

Di dalam Buku Kerja Guru berisi perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan tindak lanjut pembelajaran yang dilakukan guru.

Buku Kerja Guru perlu dimiliki oleh guru sebagai ujung tombak pelaksanaan Kurikulum 2013. Penyusunan Buku Kerja Guru ini sebagai tindak lanjut dari revisi terhadap Standar Isi, Buku Guru, dan Buku Siswa yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Dengan dimilikinya Buku Kerja Guru tersebut, maka guru akan memiliki pedoman dalam melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran berdasarkan rencana yang sudah disusun.
Buku Kerja Guru Kurikulum 2013

Buku Kerja Guru terdiri dari 4 (empat) buku, sebagai berikut.

DOWNLOAD BUKU KERJA GURU

 


BUKU KERJA 1

(1). Kode  Etik Guru (2). Ikrar Guru Indonesia (3). Tata Tertib Guru (4). Tata Tertib Kelas (5). Pembiasaan Penumbuhan Budi Pekerti 

(Unduh)

 


BUKU KERJA 2

(1). Standar Kompetensi Kelulusan (Skl) Kompetensi Inti (Ki) Dan Kompetensi Dasar (Kd) Kurikulum 2013 (2). Silabus (3). Kkm/Kbm (4). Kalender Pendidikan (5). Alokasi Waktu (6). Jadwal Mengajar (7). Daftar Buku Sumber (Guru Dan Siswa) (8). Program Tahunan (9). Program Semester (10). Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Rpp) (11). Jurnal Harian Kegiatan Mengajar.

(Unduh)


 


BUKU KERJA 3

(1). Daftar Hadir (2). Daftar Nilai (3). Penilaian Akhlak Mulia Dan Kepribadian (4). Analisis Hasil Ulangan Harian (5). Program & Pelaksanaan Perbaikan Dan Pengayaan (6). Daya Serap Siswa (7). Kumpulan Kisi-Kisi Soal (8). Kumpulan Soal Ulangan Harian (9). Analisis Butir Soal (10). Perbaikan Soal

(Unduh)


 


BUKU KERJA 4 

1. Daftar Evaluasi Diri Kerja Guru

2. Daftar Tindak Lanjut Kerja Guru

(Unduh)


Kamis, 26 Juni 2014

Reformasi Pendidikan Islam

Pendidikan Islam dalam masa modern, sejak awal abad 20 sampai sekarang, meski mengalami pasang surut, tetap bertahan dan dalam banyak kasus berkembang secara signifikan. Berbagai lembaga pendidikan Islam sejak dari tingkat PAUD, TK, dasar, menengah, dan tinggi tumbuh dan menguat di berbagai penjuru dunia sejak dari negara berpenduduk mayoritas Muslim sampai minoritas, khususnya di dunia Barat.

Pasang surut dan naik pendidikan Islam tidak seragam. Sejumlah faktor memengaruhi dinamikanya mulai dari pengaruh sistem pendidikan modern Eropa sampai perkembangan dan realitas politik, ekonomi, sosial, dan budaya di mana lembaga pendidikan Islam berada.

Perbedaan-perbedaan dalam perkembangan pendidikan Islam meniscayakan kajian komparatif —comparative study of Islamic education, antara satu negara dengan negara lain di mana terdapat berbagai bentuk lembaga pendidikan Islam. Dalam waktu cukup lama, kajian dalam bidang ini umumnya terbatas pada satu negara tertentu. Tidak banyak literatur tersedia dalam bentuk kajian komparatif sampai dasawarsa terakhir di mana mulai muncul sejumlah penelitian dan literatur kajian perbandingan pendidikan Islam.

Dalam konteks itu, buku "Reforms in Islamic Education: International Perspective" (London: Bloomsbury, 2014), yang dieditori Charlene Tan merupakan kontribusi penting. Karya ini mesti disebut senapas, misalnya, dengan Robert W Hefner dan Muhammad Qasim Zaman (eds), "Schooling Islam: The Culture and Politics of Modern Muslim Education" (Princeton: Princeton University Press, 2007). Pada tingkatan regional, perlu dicatat pula, misalnya, Robert W Hefner (ed;), "Making Modern Muslims: The Politics of Islamic Education in Southeast Asia" (Honolulu: University of Hawaii Press, 2009).

Salah satu kekuatan kajian komparatif pendidikan Islam ialah adanya bab-bab khusus tentang pendidikan Islam Indonesia. Ini mencerminkan perubahan cara pandang dan perspektif para peneliti tentang Islam dan dunia Muslim. Sebelumnya —sampai dasawarsa 1980-an— terdapat kecenderungan kuat mereka menafikan untuk memasukkan Islam Indonesia dalam pembahasan. Tetapi belakangan, menguat arus balik bahwa pembahasan tentang Islam dan kaum Muslim tidak lengkap tanpa menyertakan Indonesia.

Dalam berbagai kajian komparatif, pendidikan Islam Indonesia semakin sering diangkat sebagai contoh kasus (showcase) keberhasilan pendidikan Islam dalam menghadapi berbagai tantangan perubahan. Memimpin proyek penelitian dan penerbitan perbandingan pendidikan Islam di berbagai negara dunia —baik dengan penduduk mayoritas Muslim maupun minoritas— Hefner, misalnya, menyimpulkan, reformasi pendidikan Islam Indonesia sebagai ‘paling ambisius’ mengingat besarnya kelembagaannya.

Meski paling ambisius, dalam perspektif perbandingan, pembaruan pendidikan Islam Indonesia adalah paling reformis dan progresif di dunia Islam. Kenyataan ini, seperti kesimpulan Hefner, merupakan hasil dari kolaborasi paling efektif di antara para pengelola dan pendidik Muslim —yang memiliki otonomi relatif— dengan para pejabat pemerintah (Kementerian Agama) yang bertanggung jawab mengawasi pendidikan Islam.

Sementara itu, Charlene Tan melihat Indonesia sebagai contoh terbaik tentang bagaimana kaum Muslim yang terlibat dalam kelembagaan pendidikan Islam memeluk ‘social imaginary’ untuk mengaitkan diri dengan modernisasi dan globalisasi. Apa yang dimaksud Tan dengan ‘imajinary sosial’ adalah ‘cara di mana orang-orang membayangkan eksistensi sosial mereka; bagaimana mereka dapat secara bersama sesuai dengan orang lain; bagaimana segala sesuatu berlangsung dengan baik di antara mereka sendiri dan di antara mereka dengan warga lain; bagaimana harapan mereka biasanya terpenuhi, berdasarkan pandangan dan citra yang mereka pegangi’.

Dalam konteks itu, Charlene Tan mengutip artikel penulis Resonansi ini yang tercakup dalam buku suntingannya bahwa dalam ‘imajinary sosial’ yang dipegang kaum Muslim Indonesia, pendidikan Islam negeri ini adalah pendidikan progresif dan inovatif. Dalam ‘imajinary sosial’ tersebut, pendidikan Islam Indonesia terbuka pada pluralitas dan inovasi baik yang muncul dari Islam dan kaum Muslimin Indonesia sendiri maupun dari luar.

Reformasi pendidikan Islam di mana pun melibatkan kekuatan pemerintah. Ketika pendidikan Islam berhadapan dengan berbagai tantangan modern dan tatkala kaum Muslimin sendiri berada dalam kesulitan, peran pemerintah dalam reformasi pendidikan seolah menjadi keniscayaan.

Di sinilah terjadi proses yang disebut Hefner sebagai ‘etazitation of Islamic education’-penegaraan pendidikan Islam. Dalam istilah lain proses tersebut bisa juga disebut sebagai reformasi yang disponsori pemerintah (state-sponsored reform).

Dalam proses ini, di banyak negara mayoritas Muslim lain di Timur Tengah dan Asia Selatan, tidak jarang yang terjadi adalah kooptasi pendidikan Islam, yang pada gilirannya menimbulkan resistansi gigih dan kuat dari masyarakat Muslim dan para pemikir dan praktisi pendidikan Islam pada pihak lain.

Tarik tambang, pergulatan dan kontestasi di antara kedua belah pihak ini masih berlangsung sampai sekarang di negara semacam Afghanistan, Pakistan, atau Yaman. Sebaliknya di Indonesia, kontestasi itu telah lama berakhir, sehingga waktu dan tenaga bisa dikonsentrasikan untuk lebih memajukan pendidikan Islam. (Azyumardi Azra 2014)

Selasa, 24 Juni 2014

Melatih Kedermawanan

Sumu tasihhu, berpuasalah maka kamu akan sehat. Demikian pesan yang pernah disampaikan Rasulullah SAW untuk umatnya. 

Pesan agar ‘sehat’ ini tentu bersifat makro, tak terbatas hanya pada kesehatan badan (jasmani) saja, tapi juga kesehatan secara ruhani. Sehat secara ruhani berarti sehat secara mental dan spiritual baik saat menuju Ramadhan, pada bulan Ramadhan, terlebih setelah selesai Ramadhan.

Pada momen menuju bulan Ramadhan seperti sekarang ini, selain kita dianjurkan untuk menjaga jasmani agar fit saat berpuasa, ruhani menuntun kita untuk berbahagia atas kehadiran bulan Ramadhan. 

Selain itu, di saat bulan Ramadhan pula ruhani kita dilatih untuk terbiasa melakukan aktivitas ramadhan seperti tadarus Alquran, qiyamullail, shalat Tarawih, hingga latihan kedermawanan.

Kita semua tentu tahu bahwa hamba yang paling dermawan ialah Rasulullah SAW. Betapa beliau senantiasa membiasakan berbagi tak hanya saat bulan Ramadhan, namun juga di luar bulan Ramadhan. 

Pada saat bulan Ramadhan, kedermawanan beliau bertambah karena beliau menyadari betul arti berbagi. Berbagi sejati yang dicontohkan beliau ialah ringan memberi dalam kondisi apa pun, lapang maupun sempit. Berbagi yang menurut pandangan beliau adalah memberi solusi terhadap kesulitan orang lain.

Ada satu hadits yang diriwayat oleh Abu Hurairah RA, ia berkata, “Seorang lelaki datang menemui Nabi SAW dan berkata, ‘Celaka saya, wahai Rasulullah.’ Beliau bertanya, ‘Apa yang membuat engkau celaka?’ Lelaki itu menjawab, ‘Saya telah bersetubuh dengan istri saya di siang hari bulan Ramadan.’ 

Beliau bertanya, ‘Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memerdekakan seorang budak?’ Ia menjawab, ‘Tidak punya.’ Beliau bertanya, ‘Mampukah engkau berpuasa selama dua bulan berturut-turut?’ Ia menjawab, ‘Tidak mampu.’ 

Beliau bertanya lagi, ‘Apakah engkau mempunyai sesuatu untuk memberi makan enam puluh orang miskin?’ Ia menjawab, ‘Tidak punya.’ Kemudian ia duduk menunggu sebentar. Lalu Rasulullah SAW memberikan sekeranjang kurma kepadanya sambil bersabda, ‘Sedekahkanlah ini.’ 

Lelaki tadi bertanya, ‘Tentunya aku harus menyedekahkannya kepada orang yang paling miskin di antara kita, sedangkan di daerah ini, tidak ada keluarga yang paling memerlukannya selain dari kami.’ Maka Rasulullah SAW pun tertawa sampai kelihatan salah satu bagian giginya. Kemudian beliau bersabda, ‘Pulanglah dan berikan makan keluargamu.” (HR Muslim).

Sebenarnya, Rasulullah bisa saja bertindak tegas agar si lelaki tersebut mau berusaha mencari pekerjaan agar bisa melunasi hutangnya pada Allah karena khilaf melakukan hal yang dilarang pada siang hari di bulan Ramadhan. Tapi, sikap Rasul justru sebaliknya, beliau mau mendengarkan, memberi jalan keluar, hingga beliau memberikan juga mengikhlaskan kurma—sesuatu yang amat beliau suka dan gemar dikonsumsi selama hidupnya.

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah: 261).

Ayat di atas ialah satu dari sekian banyak ayat Alquran yang berbicara perihal ganjaran sedekah dan benar-benar dipraktikkan langsung oleh Rasulullah. Namun, sebagai manusia biasa, memberi sesuatu yang teramat kita sukai memang gampang-gampang susah. Tentu saja, dengan terus menerus melatih diri untuk mudah berbagi, kendati sedikit, tentu hal itu sangat mudah. 

Sepatutnya, bulan Ramadhan ialah bulan perubahan. Perubahan diri harus bersifat dinamis dan dimulai sejak dini. Melatih mental dermawan berarti menyiapkan hati untuk menjadi hamba Allah yang senantiasa diliputi keikhlasan, sehingga, puasa Ramadhan kita yang hanya tinggal beberapa hari ini tidak hanya menyehatkan badan, tapi juga menuai banyak keberkahan. Amin. Wallahu a’lam.

Minggu, 01 Juni 2014

Landasan Psikologi Pendidikan

I. Teori psikologi menurut para ahli
1. Aliran psikologi tingkah laku
 A.  Teori  Pengaitan dari Edward L. Thorndike
Berdasarkan hasil percobaannnya di Laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan, ia mengemukakan suatu teori belajar yang dikenal dengan teori “pengaitan” (connectionism). Teori tersebut menyatakan belajar pada hewan dan manusia pada dasrnya berlangsung menurut prinsip yang sam taitu, belajar merupakan peristiwa terbentuknya ikatan (asosiasi) antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R)  yang diberikan  atas stimulus tersebut. (Orton, 1991:39; Resnick dan Ford, 1981:13).
Selanjutnya Thorndike (dalam Orton, 1991:39-40; Resnick dan Ford, 1981:13; Hudojo, 1991:15-16) mengemukakan bahwa, terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hkum-hukum berikut. (1) Hukum Kesiapan (law of readiness), (2) Hukum Latihan (law of exercise), (3) hukum Akibat (law of effect).
B. Teori Penguatan B.F. Skinner
Skinner mengembangkan tori belajarnya juga dari hasil percobaan dengan menggunakan hewan. Dari percobaannya, Skinner menyimpulkan bahwa kita dapat membentuk tingkah laku manusia melalui pengaturan kondisi lingkungan (operant conditioning) dan penguatan.
Skinner membagi penguatan ini menjadi dua, yaitu penguatan positif dan penguatan negative. Penguatan positif sebagai stimulus, apabila penyajiannya mengiringi suatu tingkah laku siswa yang cenderung dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku itu, dalam hal ini berarti tingkah laku tersebut diperkuat.  Sedangkan penguatan negatif adalah stimulus yang dihilangkan/dihapuskan Karena cenderung menguatkan tingkah laku.

C. Teori Hirarki Belajar dari Robert M. Gagne
Menurut Orton (1990:39), Gagne merupakan tokoh Behaviorism gaya baru (modern neobehaviourist). Dalam mengembangkan teorinya, Gagne memperhatikan objek-objek dalam mempelajari matematika yang terdiri dari objek langsung dan tidak langsung. Objek langsung adalah: fakta, keterampilan, konsep dan prinsip, sedangkan objek tak langsung adalah: transfer belajar, kemampuan menyelidiki, kemampuan memecahkan masalah, disiplin diri, dan bersikap positif terhadap matematika.
Gagne berpandangan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku yang kegiatan belajarnya mengikuti suatu hirarki kemampuan yang dapat diobservasi dan diukur. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Gagne dikenal dengan “ teori hirarki belajar”
Gagne membagi belajar dalam delapan tipe secara berurtan, yaitu: belajar sinyal (isyarat), stimulus-respon, rangkaian gerak, rangkaian verbal, memperbedakan, pembentukan konsep, dan pemecahan masalah.Gagne berpendapat bahwa proses belajar pada setiap tipe belajar tersebut terjadi dalam empat tahap secara berurutan yaitu tahap: pemahaman, penguasaan, ingatan, dan pengungkapan kembali.
Untuk menerapkan teori hirarki belajar Gagne ini pada pembelajaran matematika perlu diterjemahkan secara operasional yaitu: (1) untuk mengajarkan suatu topic matematika guru perlu: (a) memperhatikan kemampuan prasyarat yang diperlukan untuk mempelajari topic tersebut, (b) menyusun dan mendaftar langkah-langkah kegiatan belajar serta membedakan karakteristik belajar yang tersusun secara hirarkis yang dapat didemonstrasikan oleh peserta didik sehingga guru dapat mengamati dan mengukurnya.  (2) guru dapat memilih tipe belajar tertentu yang dianggap sesuai untuk belajar topic matematika yang akan diajarkan.
Perkembangan kemampuan belajar  menurut Gagne (McNeil,1977)
  1. Multideskriminasi, yaitu belajar membedakan stimuli yang mirip, misalnya huruf b dan d.
  2. Belajar konsep, yaitu belajar membuat respon sederhana, seperti huruf hidup, hurup mati, dsb.
3.       Belajar Prinsip, yaitu mempelajari prinsip-prinsip atau aturan-aturan konsep.
2. Aliran psikologi kognitif
A. Teori Perkembangan Intelektual Jean Piaget
Piaget adalah ahli psikologi Swiss yang latar belakang pendidikan formalnya adalah falsafah dan biologi. Piaget  mengemukakan  Teori Perkembangan Intelektual (kognitif)
Menurut Piaget ada empat tingkat perkembangan Intelektual. (Mulyani 1988, Nana Syaodih, 1988, dan Callahan, 1983):
1.    Periode Sensorimotor pada umur   0 – 2  tahun
2.    Periode Praoperasional pada umur  2 – 7 tahun
3.    Periode operasi konkret pada umur  7 – 11  tahun
4.    Periode operasi formal pada umur  11 – 15 tahun

B. Teori Belajar dari Jerome Bruner
Perkembangan mental anak menurut Bruner (Toeti Soekamto, 1994) ada tiga tahap, yaitu:
1.Tahap Enaktif, anak melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya memahami lingkungan
2. Tahap Ikonik, anak   memahami  dunia melalui  gambaran-gambaran  dan  visualisasi verbal.
3.Tahap simbolik,anak telah memilikigagasan abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika.
Berdasarkan hasil observasi dan eksperimennya mengenai kegiatan belajar-mengajar matematika Bruner merumuskan empat teori umum tentang belajar matematika yaitu:
1. Teorema penyusunan (contruction theorem)
2. Teorema pelambangan (notation theorem)
3. Teorema pembedaan dan keaneka ragaman ( contrast and variation theorem)
4. Teorema pengaitan (connectivity  theorem)

Teori-teori Psikologi telah banyak membantu membentuk Landasan Pendidikan didalamnya anak dapat belajar dengan efektif.  Landasan psikologis sangat penting karena manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, sehinggap membutuhkan teori yang berbeda-beda untuk diaplikasikan dalam kasus-kasus pendidikan.  Mengingat dekatnya hubungan teori-teori tersebut dengan pendidikan, maka guru-guru modern patut mempelajarinya dan mengaplikasikannya dalam kelas.

2.2              Pengertian landasan psikologi pendidikan
Untuk memahami karakteristik peserta didik dalam masa kanak-kanak, remaja, dewasa, dan usia tua, psikologi pendidikan mengembangkan dan menerapkan teori-teori pembangunan manusia. Sering digambarkan sebagai tahap di mana orang lulus saat jatuh tempo, teori-teori perkembangan menggambarkan perubahan kemampuan mental (kognisi), peran sosial, penalaran moral, dan keyakinan tentang hakikat pengetahuan.
            Menurut Pidarta (2007:194) Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa itu sendiri adalah roh dalam keadaan mengendalikan jasmani, yang dapat dipengaruhi olaeh alam sekitar. Jiwa manusia berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani. Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaan manusia, sehingga landasan psikologis pendidikan merupakan suatu landasan dalam proses pendidikan yang membahas berbagai informasi tentang kehidupan manusia pada umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek pribadi manusia pada setiap tahapan usia perkembangan tertentu untuk mengenali dan menyikapi manusia sesuai dengan tahapan usia perkembangannya yang bertujuan untuk memudahkan proses pendidikan.

 2.3 Bentuk psikologis pendidikan
A. Psikologis Perkembangan
Ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan. Pendekatan-pendekatan yang dimaksud adalah (Nana Syaodih, 1989).
1.    Pendekatan pentahapan. Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan tertentu. Pada setiap tahap memiliki ciri-ciri khusus yang berbeda dengan ciri-ciri pada tahap-tahap yang lain.
2.    Pendekatan diferensial. Pendekatan ini dipandang individu-individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan. Atas dasar ini lalu orang-orang membuat kelompok–kelompok. Anak-anak yang memiliki kesamaan dijadikan satu kelompok. Maka terjadilah kelompok berdasarkan jenis kelamin, kemampuan intelek, bakat, ras, status sosial ekonomi, dan sebagainya.
3.    Pendekatan ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu, dapat saja disebut sebagai pendekatan individual. Melihat perkembangan seseorang secara individual.
Dari ketiga pendekatan ini, yang paling dilaksanakan adalah pendekatan pentahapan. Pendekatan pentahapan ada 2 macam yaitu bersifat menyeluruh dan yang bersifat khusus. Yang menyeluruh akan mencakup segala aspek perkembangan sebagai faktor yang diperhitungkan dalam menyusun tahap-tahap perkembangan, sedangkan yang bersifat khusus hanya mempertimbang faktor tertentu saja sebagai dasar menyusun tahap-tahap perkembangan anak, misalnya pentahapan Piaget, Koglberg, dan Erikson.
Psikologi perkembangan menurut Rouseau membagi masa perkembangan anak atas empat tahap yaitu :
1)Masa bayi dari 0 – 2 tahun sebagian besar merupakan perkembangan fisik.
2)Masa anak dari 2 – 12 tahun yang dinyatakan perkembangannya baru seperti  hidup manusia primitif.
3)Masa pubertas dari 12 – 15 tahun, ditandai dengan perkembangan pikiran dan kemauan untuk berpetualang.
4)Masa adolesen dari 15 – 25 tahun, pertumbuhan seksual menonjol, sosial, kata hati, dan moral. Remaja ini sudah mulai belajar berbudaya.
B. Psikologi Belajar
Menurut Pidarta (2007:206) belajar adalah perubahan perilaku yang relatif permanen sebagai hasil pengalaman (bukan hasil perkembangan, pengaruh obat atau kecelakaan) dan bisa melaksanakannya pada pengetahuan lain serta mampu mengomunikasikannya kepada orang lain.
Secara psikologis, belajar dapat didefinisikan sebagai “suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku secara sadar dari hasil interaksinya dengan lingkungan” (Slameto, 1991:2). Definisi ini menyiratkan dua makna. Pertama, bahwa belajar merupakan suatu usaha untuk mencapai tujuan tertentu yaitu untuk mendapatkan perubahan tingkah laku Kedua, perubahan tingkah laku yang terjadi harus secara sadar.
Dari pengertian belajar di atas, maka kegiatan dan usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku itu dipandang sebagai Proses belajar, sedangkan perubahan tingkah laku itu sendiri dipandang  sebagai Hasil belajar. Hal ini berarti, belajar pada hakikatnya menyangkut dua hal yaitu  proses belajar dan hasil belajar.
Para ahli psikologi cenderung untuk menggunakan pola-pola  tingkah laku manusia sebagai suatu model yang menjadi prinsip-prinsip belajar. Prinsip-prinsip belajar ini selanjutnya lazim disebut dengan Teori Belajar.
1.    Teori belajar klasik masih tetap dapat dimanfaatkan, antara lain untuk menghapal perkalian dan melatih soal-soal (Disiplin Mental). Teori Naturalis bisa dipakai dalam pendidikan luar sekolah terutama pendidikan seumur hidup.
2.    Teori belajar behaviorisme bermanfaat dalam mengembangkan perilaku-perilaku nyata, seperti rajin, mendapat skor tinggi, tidak berkelahi dan sebagainya.
3.    Teori-teori belajar kognisi berguna dalam mempelajari materi-materi yang rumit yang membutuhkan pemahaman, untuk memecahkan masalah dan untuk mengembangkan ide (Pidarta, 2007:218).

C. Psikologi Sosial
Menurut Hollander (1981) psikologi sosial adalah psikologi yang mempelajari psikologi seseorang di masyarakat, yang mengkombinasikan  ciri-ciri psikologi dengan ilmu sosial untuk mempelajari pengaruh masyarakat terhadap individu dan antar individu (dikutip Pidarta, 2007:219).
Pembentukan kesan pertama terhadap orang lain memilki tiga kunci utama yaitu.
1.    Kepribadian orang itu. Mungkin kita pernah mendengar tentang orang itu sebelumnya atau cerita-cerita yang mirip dengan orang itu, terutama tentang kepribadiannya.
2.    Perilaku orang itu. Ketika melihat perilaku orang itu setelah berhadapan, maka hubungkan dengan cerita-cerita yang pernah didengar.
3.    Latar belakang situasi. Kedua data di atas  kemudian dikaitkan dengan situasi pada waktu itu, maka dari kombinasi ketiga data itu akan keluarlah kesan pertama tentang orang itu.
Dalam dunia pendidikan, kesan pertama yang positif yang dibangkitkan pendidik akan memberikan kemauan dan semangat belajar anak-anak. Motivasi juga merupakan aspek psikologis sosial, sebab tanpa motivasi tertentu seseorang sulit untuk bersosialisasi dalam masyarakat. Sehubungan dengan itu, pendidik punya kewajiban untuk menggali motivasi anak-anak agar muncul, sehingga mereka dengan senang hati belajar di sekolah.
Menurut Klinger (dikutip Pidarta, 2007:222) faktor-faktor yang menentukan motivasi belajar adalah.
1.    Minat dan kebutuhan individu.
2.    Persepsi kesulitan akan tugas-tugas.
3.    Harapan sukses.

2.4  Kontribusi psikologi pendidikan dalam proses belajar
1. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Pengembangan Kurikulum.
Kajian psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan terutama berkenaan dengan pemahaman aspek-aspek perilaku dalam konteks belajar mengajar. Terlepas dari berbagai aliran psikologi yang mewarnai pendidikan, pada intinya kajian psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana in put, proses dan out pendidikan dapat berjalan dengan tidak mengabaikan aspek perilaku dan kepribadian peserta didik.

 Secara psikologis, manusia merupakan individu yang unik. Dengan demikian, kajian psikologis dalam pengembangan kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu, baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaaan serta karakterisktik-karakteristikindividulainnya.
               Kurikulum pendidikan seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya, baik dalam hal subject matter maupun metodepenyampaiannya.
Secara khusus, dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini, kurikulum yang dikembangkan saat ini adalah kurikulum berbasis kompetensi, yang pada intinya menekankan pada upaya pengembangan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Kebiasaan berfikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.
Dengan demikian dalam pengembangan kurikulum berbasis kompetensi, kajian psikologis terutama berkenaan dengan aspek-aspek: (1) kemampuan siswa melakukan sesuatu dalam berbagai konteks; (2) pengalaman belajar siswa; (3) hasil belajar (learning outcomes), dan (4) standarisasi kemampuan siswa

2. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Pembelajaran
Kajian psikologi pendidikan telah melahirkan berbagai teori yang mendasari sistem pembelajaran. Kita mengenal adanya sejumlah teori dalam pembelajaran, seperti : teori classical conditioning, connectionism, operant conditioning, gestalt, teori daya, teori kognitif dan teori-teori pembelajaran lainnya. Terlepas dari kontroversi yang menyertai kelemahan dari masing masing teori tersebut, pada kenyataannya teori-teori tersebut telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam proses pembelajaran.
              Di samping itu, kajian psikologi pendidikan telah melahirkan pula sejumlah prinsip-prinsip yang melandasi kegiatan pembelajaran Nasution (Daeng Sudirwo,2002) mengetengahkan tiga belas prinsip dalam belajar, yakni :
1)      Agar seorang benar-benar belajar, ia harus mempunyai suatu tujuan
2)      Tujuan itu harus timbul dari atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan karena dipaksakan oleh orang lain.
3)      Orang itu harus bersedia mengalami bermacam-macam kesulitan dan berusaha dengan tekun untuk mencapai tujuan yang berharga baginya.
4)      Belajar itu harus terbukti dari perubahan kelakuannya.
5)      Selain tujuan pokok yang hendak dicapai, diperolehnya pula hasil sambilan.
6)      Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat atau melakukan.
7)      Seseorang belajar sebagai keseluruhan, tidak hanya aspek intelektual namun termasuk pula aspek emosional, sosial, etis dan sebagainya.
8)      Seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.
9)      Untuk belajar diperlukan insight. Apa yang dipelajari harus benar-benar dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal fakta lepas secara verbalistis.
10)   Disamping mengejar tujuan belajar yang sebenarnya, seseorang sering mengejar tujuan-tujuan lain.
11)   Belajar lebih berhasil, apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.
12)   Ulangan dan latihan perlu akan tetapi harus didahului oleh pemahaman.
13)   Belajar hanya mungkin kalau ada kemauan dan hasrat untuk belajar.
3. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Penilaian
Penilaiain pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan guna memahami seberapa jauh tingkat keberhasilan pendidikan. Melaui kajian psikologis kita dapat memahami perkembangan perilaku apa saja yang diperoleh peserta didik setelah mengikuti kegiatan pendidikan atau pembelajaran tertentu.
Di samping itu, kajian psikologis telah memberikan sumbangan nyata dalam pengukuran potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik, terutama setelah dikembangkannya berbagai tes psikologis, baik untuk mengukur tingkat kecerdasan, bakat maupun kepribadian individu lainnya.Kita mengenal sejumlah tes psikologis yang saat ini masih banyak digunakan untuk mengukur potensi seorang individu, seperti Multiple Aptitude Test (MAT), Differensial Aptitude Tes (DAT), EPPS dan alat ukur lainnya.
              Pemahaman kecerdasan, bakat, minat dan aspek kepribadian lainnya melalui pengukuran psikologis, memiliki arti penting bagi upaya pengembangan proses pendidikan individu yang bersangkutan sehingga pada gilirannya dapat dicapai perkembangan individu yang optimal.
              Oleh karena itu, betapa pentingnya penguasaan psikologi pendidikan bagi kalangan guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
             Keadaan anak yang tadinya belum dewasa hingga menjadi dewasa berarti mengalami perubahan,karena dibimbing, dan kegiatan bimbingan merupakan usaha atau kegiatan berinteraksi antara pendidik,anak didik dan lingkungan.
Perubahan tersebut adalah merupakan gejala yang timbul secara psikologis. Di dalam hubungan inilah kiranya pendidik harus mampu memahami perubahan yang terjadi pada diri individu, baik perkembangan maupun pertumbuhannya. Atas dasar itu pula pendidik perlu memahami landasan pendidikan dari sudut psikologis.
               Dengan demikian, psikologi adalah salah satu landasan pokok dari pendidikan. Antara psikologi dengan pendidikan merupakan satu kesatuan yang sangat sulit dipisahkan. Subyek dan obyek pendidikan adalah manusia, sedangkan psikologi menelaah gejala-gejala psikologis dari manusia. Dengan demikian keduanya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan.